Wacana
guru harus stand by selama delapan jam di sekolah mulai menuai pro dan kontra.
Para guru
di sekolah swasta paling terkena imbas peraturan tersebut.
Mereka
merasa keberatan lantaran gaji yang diterima minim.
"Kalau
untuk kepentingan peningkatan kualitas pendidikan, saya sepakat. Khususnya
untuk memberikan pelayanan terbaik bagi murid," ungkap Ketua Musyawarah
Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Swasta se-Surabaya Ahmad Fauzi pada Jawa Pos.
Meski
demikian, Fauzi menyebutkan bahwa pelaksanaan aturan tersebut perlu dievaluasi
agar tidak berbenturan dengan kondisi di lapangan.
Khususnya
pada guru swasta yang memiliki kebiasan mengajar di banyak sekolah. Mereka
terpaksa melakukan itu demi menambah penghasilan.
Apabila
hanya bergantung dari satu sekolah, pendapatan mereka tentu sangat kurang.
Betapa
tidak, selama ini pendapatan guru yang mengajar di sekolah swasta dihitung
berdasar lama mengajar.
Apabila
jam mengajar hanya sedikit, tentu penghasilan yang mereka terima juga minim.
"Semua
bergantung jamnya," terang pria yang merangkap sebagai kepala SMK IPIEMS
tersebut.
Fauzi
menjelaskan, merangkapnya jadwal guru mengajar di beberapa sekolah itu juga
sering terjadi di jenjang SMK.
Terutama
bagi guru yang mengajar di bidang pelajaran adaptif seperti PKn, bahasa
Indonesia, dan agama.
Hal
tersebut terjadi lantaran porsi mata pelajaran itu memang minim diajarkan pada
siswa SMK.
Fauzi
mencontohkan SMK IPIEMS. Dari 40 tenaga pengajar, hampir separonya merupakan
guru yang merangkap mengajar di sekolah lain.
"Kondisi
ini umum terjadi di SMK swasta. Untuk itu, pemerintah harus
memperhatikannya," ujarnya.
Bukan
hanya itu, problem guru harus tetap siap di satu sekolah tersebut juga banyak
membebani yayasan selaku pemilik yang berwenang menggaji guru.
Jika
pendidik yang memiliki jam mengajar minim harus berada di sekolah selama
delapan jam, tentu yayasan harus mengeluarkan banyak uang untuk menggaji.
"Yang
pertama, membebani yayasan. Yang kedua, memberatkan guru," jelasnya.
Sumber : jpnn.com
0 comments:
Post a Comment